Cinta Munyuk (VII) Sepatu, selalu bersama tak bisa bersatu

Masih dimalam yang sama, malam ketika hati terguncang mendengar suatu penghakiman yang mau tidak mau harus melepaskan apa yang ada dalam genggaman saat itu juga. We have no choice.
First* berusaha menenangkan gue, gue cuma bisa nangis dan ngacak-ngacak makanan yang gue pesan. Dan gue tau First* ngerti apa yang gue rasakan, selesai makan kita pulang. Tapi First* ga langsung mulangin gue kekosan, dia belum tega mulangin gue kekos sementara airmata gue masih ngalir. Dia memutuskan berhenti didepan taman satwa jurug, bukan tempat buat parkir sih. Cuma numpang berhenti aja, kebetulan malam itu hujan deras. Makin syahdu aja suasana kehancuran hati gue, hujan kan selalu identik dengan kenangan..eh, genangan. Karena gue terus-terusan mewek First* mencoba menghibur gue dengan membawa gue keliling kota, tapi karena udah larut malam dia ngantuk dan dilampu merah nyeruduk mobil orang. Ga kenceng sih tapi dia panik trus gue yang diomelin, mukanya langsung gaenak dan buru-buru minta pulang. Meskipun malam itu gue belum mau dipulangin kekost.
Sulit bagi gue buat menerima alasan perpisahan kita, First* paham itu. Dia bahkan sempat berjanji akan menemani gue sampai gue menemukan pengganti dia. So sweet ya? Iya kesannya so sweet, tapi kesannya doang. Liat aja kelanjutan kisahnya, …

Ketika gue masih punya rasa ga terima atas apa yang menimpa gue ini, gue jadi sering bengong aja dikampus. Ada adik tingkat gue namanya Fatikhah tiba-tiba nyapa gue, karena dia lihat mata gue masih bengkak gegara tangisan malam-malam sebelumnya akhirnya dia bertanya gue kenapa. Karena gue cukup kenal baik dan melihat sorot matanya sangat tulus, juga cara dia bertanya terkesan bahwa dia bukan cuma ingin tahu, tapi juga karena dia peduli akhirnya gue cerita ke dia tentang apa yang menimpa gue. Mendengar cerita gue tiba-tiba dia ngasih gue lagu ini,

Kita adalah sepasang sepatu, selalu bersama tak bisa bersatu
Kita mati bagai tak berjiwa, bergerak karena kaki manusia
Aku sang sepatu kanan, kamu sang sepatu kiri
Ku senang bila diajak berlari kencang, tapi aku takut kamu kelelahan
Ku tak masalah bila terkena hujan, tapi aku takut kamu kedinginan

Kita sadar ingin bersama
Tapi tak bisa apa-apa
Terasa lengkap bila kita berdua
Terasa sedih bila kita di rak berbeda
Di dekatmu kotak bagai nirwana
Tapi saling sentuhpun kita tak berdaya

A song by Tulus – Sepatu

Waktu itu Tulus belum begitu tenar, gue sempet ngerasa ‘apa sih’ sama lagu itu. Setelah gue cerna baik-baik liriknya akhirnya gue cuma punya satu kata, ‘anjirrr’ dalem banget! Ga mau galau sendirian gue pun nunjukin lagu ini ke First*, dan diapun menunjukan reaksi yang sama atas situasi kita yang pas banget sama lagu itu. Diapun bertanya dari mana gue nemu lagu itu, lalu gue jelaskan. Gue punya kenalan adik tingkat angkatan 2013, jurusannya sama dengan First* tapi mereka ga saling kenal. Gue kenal cewek ini karena dia daftar jadi peserta magang BEM dan dia termasuk kedalam kelompok yang gue handle, istilahnya dia jadi ‘anak’ gue di BEM. Maka dari itu gue kenal dan gue punya kontak dia, dialah Fatikhah yang sempat gue sebut sebelumnya. Menurut gue Fatikhah adalah cewek yang baik, penurut sama orang tua, pintar dan yang pasti dia cantik banget!

Beberapa hari setelah peristiwa ‘pelepasan kulit kacang’ gue masih sering jalan bareng sama dia, namanya juga masih saling sayang. Sambil menyelam minum air, gue terus menggali alasan sebenarnya kenapa sang bunda tiba-tiba menolak gue. Ternyata permasalahan itu udah ada cukup lama. Lama hubungan kita kurang lebih 4 bulan, First* bilang ibunya mulai menyatakan ketidak setujuannya semenjak 1 bulan setelah kita jadian. Saat itu First* nunjukkin foto kita berdua ke ibunya, mungkin saat itu juga ibunya ngasih respon ‘lampu merah’ untuk kami berdua. Tapi First* tidak serta merta langsung mengakhiri hubungan kita, dia bilang selama 3 bulan belakangan dia bener-bener berusaha nyari alasan buat ninggalin gue. Dia ga pengen gue tau kalo alasan sebenernya adalah ibunya, tapi apa daya skenario tak kunjung dia temukan. Karena ibunya juga kadang setengah mendesak dengan bertanya “piye, koe jik karo cah kae?”, artinya gimana kamu masih sama perempuan itu?. Pada akhirnya karena First* juga ga mau terus-terusan membohongi ibunya, dia memutuskan untuk meninggalkan gue dengan alasan yang apa adanya. Sakit? Banget!
Gue masih merasa aneh, salah gue disini apa. Tiba-tiba ada perasaan ga suka terhadap seseorang cuma karena feeling atau firasat atau intuisi atau apapun itu kemudian langsung memutuskan menjauhinya begitu saja, gue yakin pasti ada satu atau beberapa hal yang bisa dijadikan alasan. Ketika gue dan First* ngobrol panjang lebar, entah keceplosan atau dengan sadar dia cerita bahwa ibunya pernah bilang “cari pacar tuh yang cantik, jangan kalah sama ibu. Gini-gini ibu juga cantik lho“. Ooh..jadi itu, gitu ya. Masalah tampang gue gitu, pantesan kok First* baru nunjukin foto langsung disuruh putus. Tahu karakternya aja belum, udah main hakim sendiri. It’s okay, itu anak lu dan lu berhak atas dia.

Mendengar hal pahit semacam itu, waktu itu gue masih bersabar dan sangat menerima dengan lapang dada. Gue masih mau aja diajakin jalan bareng, bahkan anehnya waktu itu gue sering mancing-mancing dia kalo ada cewek lewat gue nyeletuk “dia cantik ga?” dan First*pun menanggapi dengan jujur iya atau nggak. Sampai suatu hari gue nawarin dia untuk gue kenalin sama Fatikhah. Sinting ya gue? Yang patah hati siapa, yang dicariin pengganti siapa 😭 Tapi First* mau-mau aja, emang dasar lelaki.
mau ga aku kenalin sama Fatikhah? Orangnya baik dan yang pasti cantik, pasti ibu kamu suka” ucap gue.
yaudah kalo kamu sebagai ’emaknya’ dia (diBEM) udah merestui” jawab First*
Lalu gue kirim kontaknya Fatikhah buat First*, ga lama setelah itu First*pun beraksi. Awal pedekate sama Fatikhah dia masih sering cerita ke gue, bahkan saat dia minta restu ke ibunya dengan nunjukin foto Fatikhah ke ibunya itu diapun cerita ke gue.
First* bilang “Alhamdulillah, keluargaku oke. Ibu aku ngasih restu ke Tikha
Wah bagus ini, nanti tinggal lihat hatinya gimana” kata ibunya
Oh jadi nomor 1 tampang dulu, baru hati dan karakternya. Ada juga orang biasanya hati dulu, urusan tampang itu bonus. Tau ga yang gue rasain waktu itu? Kenapa tampang gue dinilai tidak tepat, gue lebih baik ditolak karena alasan perilaku gue. Atau harta gue yang ga banyak, gue miskin. Coba dipikir, perilaku masih bisa diperbaiki, masih dalam kendali manusia. Begitupun harta, masih dalam kendali manusia, jika orang bekerja keras bukan tidak mungkin dia bisa punya harta banyak. Nah kalo fisik, urusan wajah kurang cantik, manusia bisa apa? Sekali lagi, fisik adalah pemberian Tuhan yang mau tidak mau memang seperti itu adanya. Sakit!

Akhir tahun 2013 menjadi pengiring akhir kisah cinta gue dan First*, bersamaan dengan akhir masa perkuliahan semester itu. Seperti semester sebelumnya, diakhir selalu terbit yang namanya kartu hasil studi (KHS). Gue kaget ketika First* bilang indeks prestasi (IP) semester ini anjlok parah, dari yang semester sebelumnya dia dapat IP sempurna 4.0 turun menjadi 3.5 😱 Mati gue!!! Bukan sok lebay nangisin IP turun, tapi gue mikir dengan adanya kejadian ini tambah jelek aja penilaian emaknya ke gue. Pasti sedikit banyak gue ikut terkambing hitamkan atas peristiwa ini, tambah hina aja berbi ini dimata ibunda ratu. Dan, ah sudahlah.
Karena gue cukup tahu diri, gue bener-bener ga akan ngarepin First* lagi. Apalagi dia udah punya pandangan ke cewek lain, secepat itu? Ya kan gue sendiri yang merekomendasikan, kalo beneran jadian ya berarti bukan sepenuhnya salah dia atau mereka. Gue mengira kelanjutan cerita pedekate mereka mencapai puncak bahagia, apalagi udah direstui. Tapi ternyata kisah pedekate mereka bukannya menuju puncak, malah langsung kegaris finish. Iya, berakhir. Entah mungkin si cewek ga pengen pacaran dulu atau First* itu bukan tipe lelaki idaman dia. Yasudahlah, awal 2014 pun First* mulai menjauhi gue. Mulai jarang bales chat, dan saat itu gue berpikir sepertinya gue lebih baik percaya pada sikapnya bukan pada omongannya. Katanya mau nemenin gue sampe nemu pengganti dia, mana? Belum apa-apa juga udah kabur, situ laki?

Hahaha…sebenernya First* ga sejahat itu, gue yakin kok. Tapi apa daya keadaan membuat gue harus berpikir seperti itu. Gue berpikir sangat keras untuk melepaskan ego terhadap mahluk Tuhan yang satu itu, dan yang bisa gue lakukan adalah ikhlas. Karena tanpa keikhlasan, orang ga akan bisa move on. Kenapa orang itu susah move on? Karena ia enggan melepaskan. Kenapa enggan melepaskan? Karena dia merasa pernah memiliki dan ingin tetap memiliki. Jadi langkah pertama untuk move on adalah melepaskan rasa memiliki itu, ikhlas ataupun tidak sama saja. Tidak akan merubah keadaan. Daripada capek hati karena tidak ikhlas, mending ikhlaskan sedari awal.

Terkhusus untuk kisah gue bersama orang ini, kenangan kita mungkin berakhir di 2013. Tapi asal lu tau, jam tangan yang kita couple-an baru gue berhenti pake awal 2015. Itu juga karena kecebur dipantai. Dan satu hal lagi, gelang dari lu gue masih gue pake sampe akhir 2015. Gara-gara rusak. Foto-foto sama lu di gue masih ada, ga kaya lu yang gue yakin udah diilangin semua. Duit pecahan 5ribu yang perjanjiannya buat dikasih kesiapa yang nikah duluan, juga masih gue simpen. Dan ketika gue ngetik cerita ini, walaupun gue terkesan masih inget banyak detail tentang kita. Itu karena lu berkesan banget buat gue, bukan karena gue gagal move on.

Thank you First*.

2 thoughts on “Cinta Munyuk (VII) Sepatu, selalu bersama tak bisa bersatu

Leave a comment